
Rangking, adalah satu kata ynag mungkin familiar di telinga sohiblogger. dari
zaman kita sekolah dasar pasti akrab dengan sistem perangkingan di akhir
semester untuk menentukan prestasi anak murid. secara pribadi praktik
peragkingan ini tidak saya temukan ketika telah memasuki jenjang perkuliahan,
dimana prestasi dilihadari nilai indeks kumulatif semester ataupun kumulatif
(IPS/IPK). Perangkingan pun saya temui kembali saat masuk dunia kerja. dimana
sistem nilai dan rangking digunakan untuk memberikan penghargaan/reward bagi
karyawan yang qualified. akan tetapi maslah timbul saat praktik perangkingan
yang notabenenya digunakan sebagai output penilaian kinerja/prestasi malah
digunakan untuk menilai kinerja dan prestasi itu sendiri. akhirnya yang ada adu
balap prestige. kalau di duni dosen, seorang dosen akan dipuja puji setinggi
langit bila artikelnya terbit di Scopus Q1 atau Q2. ia akan diapresiasi akan hal
itu bukn dari esensi apa yang ia kerjakan / teliti. begitupun dalam konteks
mengelola jurnal. sebuah jurnal akan disanjung jika sudah berhasil sampe
terindeks internasional dengan nilai impact factor/faktor dampak (yang
notabenenya lagi-lagi perangkingan). padahal Faktor dampak dapat menjadi
indikator yang luas dari output jurnal, tetapi tidak boleh digunakan untuk
menentukan kualitas studi individu atau penulisnya.1 H-indeks tidak bisa menjadi
kriteria yang tepat untuk menilai kegiatan penelitian. Ini sangat menyesatkan
ketika digunakan untuk membandingkan peneliti karena faktanya mudah dipengaruhi
oleh variabel pengganggu seperti tahun pengalaman, pengaruh politik dan
administratif, keahlian bidang yang disosialisasikan, pembayaran dan hak-hak
istimewa lainnya, dan jenis universitas tempat peneliti bekerja. Singkatnya,
nilai H Indeks mungkin menyesatkan2 Bagaimana dengan nasib dosen atau pengelola
jurnal yang belum sampe ke "rangking tertinggi"...ibarat kata mereka bak kisah
ratapan anak tiri. efek yang muncul kemudian adalahan munculnya rasa silau di
kalangan dosen/ pengelola jurnal jelata. menganggap posisi rangking itu jadi
tujuan akhir dan harus dicapai dengan berbagai cara, at any cost, bahkan jika
harus mengorbankan kualitas dan integritas sekalipun. Apakah kita benar-benar
harus fokus mengejar angka itu saja? Tujuan pertama sejatinya adalah adalah
untuk meningkatkan kualitas penelitian dengan menerbitkan manuskrip berkualitas
yang akan menarik khalayak yang lebih besar untuk membaca artikel dan akhirnya
mempublikasikan penelitian mereka di dalamnya3. Pada akhirnya saya tegaskan,
saya tidak dengki dengan mereka. kalaupun kita iri, marilah iri dengan baik,
tanpa mengorbankan akal sehat dan integritas. kita perlu menggeser sistem
merit/promosi karya sains dari sistem berbasis metrik ke sistem merit berbasis
proses4. Selain itu Solusi mandiri yang bisa ditempuh oleh peneliti di Indonesia
untuk meningkatkan kapasitas dan pengalamannya adalah dengan memperkaya
pengetahuan yang terkait seluk-beluk riset, publikasi, dan penulisan karya
ilmiah5
Jangan lagi kita terjebak pada “lomba-lomba dan rangking-rangking semu”
udah ah, takut ada yang tersinggung, mumpung masih bulan syawal, mohon maaf
lahir batin ya...
sumber gambar6
Referensi
1. Enago Academy. Decreasing the Influence of Impact Factor. Enago Academy
https://www.enago.com/academy/decreasing-the-influence-of-impact-factor/ (2021).
2. Sabour, S. H. Index, an Ugly Truth. Shiraz E-Med. J. 20, (2019).
3. Bok, D., Foster, C. & Rakovac, M. SHOULD WE REALLY BE CHASING THE IMPACT FACTOR? Kinesiology 50, 2 (2018).
4. Irawan, D. E. Against all odds: we only see numbers. (2019).
5. Sunu Wibirama. Balapan Scopus, Jurnal Predator dan Gagap Budaya Riset. Asosiasi Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat (AJPKM)https://ajpkm.org/2021/02/balapan-scopus-jurnal-predator-dan-gagap-budaya-riset/(2021).
6. Hamilton, H. The Academic Racing. (2018).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bebas berkomentar asal sopan, bukan iklan ataupun spam (spam atau iklan akan saya delete)