MRATODI

MRATODI

What i can share, i share

Breaking

Selasa, April 29, 2025

Ketika diri dipaksa untuk Melangkah Lagi

Selasa, April 29, 2025 1
Ketika diri dipaksa untuk Melangkah Lagi


 Seiring berjalannya waktu, hidup memberikan kita berbagai perjalanan yang tak terduga. Bagi saya, menjadi seorang dosen telah menjadi panggilan dan kebanggaan seumur hidup. Namun, di tengah semuanya, ada sebuah keinginan yang terus membuncah di dalam hati: kembali ke bangku kuliah untuk mengejar gelar S3.

Pikiran ini mungkin terdengar agak tidak biasa bagi sebagian orang, terutama dengan usia yang semakin bertambah dan tantangan kesehatan yang perlahan mengingatkan saya akan keterbatasan diri. Meskipun begitu, keinginan untuk mengejar ilmu yang lebih dalam, untuk memberikan yang terbaik bagi mahasiswa dan komunitas, tetap menggelora dalam diri saya.

Bagi saya, mempertimbangkan studi S3 bukanlah hanya soal penambahan gelar di belakang nama, melainkan lebih dari itu. Ini adalah tentang komitmen terhadap pembelajaran sepanjang hayat dan memberikan yang terbaik bagi generasi mendatang. Mungkin ada keraguan, terutama ketika melihat sekeliling dan menyadari betapa banyaknya tanggung jawab yang sudah saya pikul.

Namun, setiap kali keraguan datang, saya selalu mengingat kata-kata bijak bahwa "tak ada yang terlalu tua untuk belajar" dan "setiap langkah menuju ilmu adalah investasi bagi masa depan". Setiap tantangan, baik dalam kesehatan maupun usia, adalah bagian dari perjalanan ini. Mereka mengajar saya untuk menghargai setiap detik waktu dan setiap peluang untuk belajar.

Jadi, dengan segala kegundahan dan ketabahan, saya memutuskan untuk melangkah maju. Karena pada akhirnya, mimpi itu adalah titik awal dari segala kemungkinan. Bersama dengan mahasiswa, kami adalah komunitas pembelajar yang saling menginspirasi. Bersama-sama, kita mengejar impian, terlepas dari apa pun yang mungkin menghalangi di depan kita.

Sekian cerita dari sudut pandang saya. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi siapa pun yang tengah mempertimbangkan untuk mengikuti panggilan ilmu di tengah berbagai tantangan hidup. Mari kita terus berjalan bersama, dengan hati penuh semangat dan tekad yang bulat. Terima kasih telah membaca dan berbagi momen ini bersama saya.

Senin, Agustus 12, 2024

Dilema Penulis: Ketika Nama di Sampul Buku Jadi Barang Mewah

Senin, Agustus 12, 2024 0
Dilema Penulis: Ketika Nama di Sampul Buku Jadi Barang Mewah


Sebagai penulis di era global, menerbitkan buku bukan hanya tentang menuangkan ide ke kertas, tapi juga navigasi dalam dunia penerbitan internasional dan nasional. Pengalaman terbaru saya dengan sebuah penerbit internasional membuat saya mempertanyakan praktik industri ini secara luas.

Berawal dari sebuah email dari penerbit luar negeri. Mereka setuju menerbitkan buku saya, bahkan mengizinkan penulis pendamping. Namun, ada syarat yang mengejutkan: untuk mencantumkan lebih dari dua penulis di sampul, saya harus memilih paket "Standard" seharga 599 euro. Alasannya? Pembuatan sampul "kustom".

Situasi ini memunculkan beberapa pertanyaan penting:

  1. Standar Global vs Lokal: Apakah praktik ini umum di kalangan penerbit internasional? Bagaimana dengan penerbit nasional di Indonesia? Adakah perbedaan signifikan dalam kebijakan mereka?
  2. Nilai Kolaborasi Lintas Negara: Dalam era kolaborasi global, bukankah seharusnya penerbit lebih akomodatif terhadap karya multi-penulis dari berbagai negara?
  3. Tantangan Penulis Negara Berkembang: Bagaimana dampak kebijakan seperti ini terhadap penulis dari negara berkembang yang ingin go international?
  4. Etika Penerbitan Universal: Haruskah ada standar etika universal dalam industri penerbitan, terlepas dari negara asal penerbit?
  5. Negosiasi Lintas Budaya: Sebagai penulis, bagaimana kita bisa efektif menegosiasikan hal-hal seperti ini dengan penerbit internasional, mengingat adanya perbedaan budaya bisnis?
  6. Alternatif Penerbitan: Apakah penerbit nasional menawarkan opsi yang lebih fleksibel? Atau haruskah kita mempertimbangkan self-publishing sebagai alternatif?

Saya memutuskan untuk menyuarakan keberatan saya kepada penerbit tersebut. Namun, pengalaman ini membuat saya berpikir lebih luas: bagaimana praktik ini mempengaruhi penulis dari berbagai belahan dunia?

Sebagai penulis Indonesia yang bercita-cita go international, kita perlu memahami landscape penerbitan global. Namun, kita juga harus kritis terhadap praktik-praktik yang mungkin merugikan atau membatasi kreativitas dan kolaborasi.

Saya mengajak rekan-rekan penulis untuk berbagi pengalaman mereka. Bagaimana pengalaman Anda dengan penerbit nasional? Atau jika Anda pernah berurusan dengan penerbit internasional, tantangan apa yang Anda hadapi?

Mari kita buka diskusi ini. Dengan berbagi cerita dan wawasan, kita bisa bersama-sama mencari solusi dan mungkin bahkan mendorong perubahan dalam industri penerbitan, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Creative Commons License
All posted materials by MRATODI.NET is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.